Friday 28 April 2017

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. R DENGAN TUBERKULOSIS PARU (TB Paru)



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan  penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala bervariasi. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menyerang organ paru-paru di bandingkan bagian lain tubuh manusia. Tempat masuk kuman ini adalah melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB Paru terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price, 2006).
Menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun, dinegara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas. WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 2012 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Di wilayah Asia, Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Tahun 2011, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 783.000 kasus baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 240.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 170 penderita baru TBC paru BTA positif (WHO, 2012).
Penyakit TB di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi (Sudoyo Aru W, 2006).
Penyakit Tuberkulosis paru dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik, akan tetapi pengobatan berlangsung cukup lama yaitu setidaknya 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih dan selanjutnya dievaluasi oleh dokter apakah perlu dilanjutkan atau berhenti, karena pengobatan yang cukup lama sering kali membuat pasien putus berobat atau menjalankan pengobatan secara tidak teratur kedua hal ini fatal akibatnya yaitu pengobatan tidak berhasil dan kuman menjadi kebal disebut (Resistansi), kasus ini dalam pengobatanya lebih sulit sehingga diharapkan pasien disiplin dalam berobat setiap waktu (Refelina, 2009).

B.   Rumusan Masalah
 Berdasarkan Latar belakang diatas, penulis tertarik untuk memilih judul Karya Tulis Ilmiah “Asuhan Keperawatan pada klien Nn. R dengan Tuberkulosis Paru (TB paru) di Ruang Palm RSUD dr. Soeselo Slawi”.

C.   Tujuan Penulisan
1.    Tujuan Umum
Mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis Paru pada klien dan keluarga dengan pendekatan proses keperawatan yang komprehensif meliputi aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan.
2.    Tujuan Khusus
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru, diharapkan mampu:
a.    Melakukan pengkajian pada klien yang meliputi pengumpulan data dan menetapkan masalah berdasarkan prioritas.
b.    Membuat perencanaan untuk mengatasi masalah keperawatan yang mencangkup penetapan tujuan dan intervensi keperawatan.
c.    Melakukan tindakan keperawatan berdasarkan rencana asuhan keperawatan yang telah ditetapkan.
d.   Mampu mengevaluasi keberhasilan asuhaan keperawatan yang telah dilakukan.
e.    Mendokumentasikan semua kegiatan asuhan keperawatan berdasarkan tindakan yang sudah dilakukan pada klien.
f.     Membahas kesenjangan antara teori dan kondisi riil kasus yang dilaporkan.

D.   Manfaat Penelitian
1.      Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan terhadap rumah sakit untuk mempertahankan dan meningkatkan asuhan keperawatan yang profesional, serta menjadi informasi dalam pengelolaan kasus yang bersangkutan.
2.      Bagi Pasien
Dapat memberikan pengetahuan atau informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberculosis tersebut.
3.      Bagi Penulis
a.       Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang asuhan keperawatan tuberculosis paru.
b.      Sebagai masukan data dan sumbangan pemikiran perkembangan pengetahuan untuk peneliti selanjutnya.
c.       Sebagai bekal penulis sebelum melakukan asuhan kaperawatan.
d.      Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan.
e.       Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan asuhan keperawatan yang didapatkan dibangku kuliah.

E.   Metode Penulisan
Konsep teori keperawatan menurut Betty Neuman “Healt care system” yaitu model konsep yang menggambarkan aktifitas keperawatan yang ditujukan kepada penekanan penurunan stress dengan memperkuat garis pertahanan diri secara fleksibel atau normal maupun resisten dengan sasaran pelayanan komunitas. Betty Newman mendefinisikan manusia secara utuh merupakan gabungan dari konsep holistik dan pendekatan sistem terbuka (Hidayat, 2008). Stressor yang  didapat dalam pengobatan Tuberkulosis paru (TB paru) berlangsung cukup lama yaitu setidaknya 6 sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih, karena pengobatan cukup lama sering kali membuat pasien putus berobat atau tidak teratur dalam pengobatan ini fatal akibatnya yaitu kuman menjadi kebal atau biasa disebut (Resistansi) kasus ini dalam pengobatanya lebih sulit (Refelina, 2009).


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Definisi
Tuberkulosis paru (TBC Paru) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainya  kuman ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil dari sel darah merah (Price, 2006).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh basil mikrobacterium tuberkulosis, merupakan salah satu penyakit saluran parnafasan bagian bawah. Sebagian besar basil mikobakterium tuberkulosis masuk melalui jaringan paru melalui airborne infektion dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokos primer dari ghon (Alsagaff Hood, 2006).

B.     Etiologi
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, kuman ini berbentuk batang aerobic mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung/ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Brunner & Suddarth, 2002).
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant yaitu dapat tertidur selama beberapa tahun. Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk kedalam tubuh tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Sudoyo Aru W, 2006).

C.    Patofisiologi (Sudoyo Aru W, 2006).
1.      Tuberkulosis Primer.
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukan atau dibesinkan keluar menjadi droplet dalam udara disekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer.Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.
Bila kuman ini menetap dijaringan paru akan barkembang biak didalam sitoplasma makrofag, disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainya. Kuman yang bersarang dijaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) ghon, sarang primer ini dapat terjadi disetiap jaringan paru, bila menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit terjadi linfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan ke saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis regional) yang menyebabkan terjadinya kompleks primer, kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a.    Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b.    Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (kerusakan jaringan paru).
c.    Berkomplikasi dan menyebar secara :
1)   Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
2)   Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
3)   Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya.
4)   Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.


2.      Tuberkulosis Post-Primer (Sekunder)
Adalah kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post-primer). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%, hal ini terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis paska primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi diregio atas paru, sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pnemunia kecil dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni sesuatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia-langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :
a.       Diresorbsi kembali tanpa menimbulkan cacat
b.      Sarang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan sembuhan jaringan fibrosis
c.       Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan keju.
Bila tidak mendapat pengobatan yang tepat penyakit ini dapat berkembang biak dan merusak jaringan paru lain atau menyebar ke organ tubuh lain.
D.    Pathways Tuberkulosis


 







Resiko penularan
Inefektif bersihan jalan nafas
 
Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis regional
 
 TBC


 
Resiko tinggi infeksi
 
Penyebaran ke organ lain
 
Sembuh dengan sarang gohn
 
Sembuh total
 
                                                                                                                                   








 


Infeksi post primer
 
Nyeri dada
 
                                                         








 


Gangguan rasa nyeri
 
                                                                                       


 




kelelahan
 
Gangguan pertukaran gas
 
           Resiko syok                                                                                 
           hipovelemik
 


 (Anira, 2012).
E.     MANISFESTASI KLINIK
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB baru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
1.    Demam, terjadi lebih dari sebulan.
2.    Batuk/batuk darah, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
3.    Sesak nafas, akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut (sudah lama).
4.    Nyeri dada, timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5.    Hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan (malaise).
(Sudoyo Aru W, 2006).

F.     PEMERIKSAAN PENUNJANG (Alsagaff Hodd, 2006).
1.    Pemeriksaan Laboratorium.
a.    Kultur Sputum : Positif untuk mycobacterium pada tahap aktif penyakit
b.    Cairan pleura : Diperoleh dengan melakukan fungsi percobaan pada kasus-kasus yang diduga tuberculosis disertai dengan efusi pleura (dengan pemeriksaan fisik) dan dilakukan pemeriksaan, baik makroskopis maupun mikroskopis.
c.    Darah : Pemerikssan darah tidak dapat dipakai sebagai pengangan untuk menyokong diagnosa tuberculosis paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukan gambaran yang khas. Gambaran darah kadang kadang dapat membantu manantukan aktifitas panyakit.
d.   Laju Endapan Darah : Laju endapan darh sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak dapt mengesampingkan proses tuberculosis aktif.
e.    Leukosit : Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif.
f.     Hemoglobin : Pada penyakit tuberculosis berat sering disertai dengan anemia derajat sedang, bersifat normositik dan sering disebabkan difesiensi besi.
g.    Uji Tuberkulin : Merupakan pemeriksaan guna menunjukan reaksi imunitas seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil tuberculosis.
2.    Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi dapat memperkuat dugaan adanya penyakit tuberculosis paru lebih dini. Gambaran kelainan radiologi paru karena proses tuberculosis sudah tampak lebih dahulu kira-kira 2-3 tahun sebelum ada gejala klinik, tetapi diagnosa definitif tuberculosis paru tidak dapat dibuat atas dasar gambaran radiologi saja karena masih banyak penyakit paru lain yang menyerupai gambaran mirip tuberculosis.
G.    PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan penyakit tuberkulosis paru biasanya memerlukan waktu 6 bulan, berawal dari perawatan harian selama 2 bulan yang menghabiskan 4 jenis obat yaitu : Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid dan Etambutol. Ini diikuti perwatan dua kali seminggu selama empat bulan dan penderita perlu mengkonsumsi jenis obat dibawah pengawasan dokter yaitu : Kanamisin, Kuinolon, Makroid dan amoksilin. Jika perawatan dipatuhi penderita TBC dapa disembuhkan, lebih baik jika memberi perlindungan sejak bayi yaitu melalui suntikan BCG. Imunisasi BCG termasuk dalam program imunisasi anak-anak disamping itu juga penderita memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik (Rafelina, 2009).

H.    ASUHAN KEPERAWATAN (Doengoes, 2002).
1.        Pengkajian
Pengkajian keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif meliputi riwayat keperawatan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik.
Riwayat keperawatan untuk bersihan jalan tidak efektif meliputi pengkajian tentang masalah pernafasan dulu dan sekarang, gaya hidup, adanya batuk, sputum, nyeri, medikasi dan adanya faktor resiko untuk gangguan status oksigenasi.
a.    Masalah pada pernafasan (dulu dan sekarang).
b.    Riwayat penyakit atau masalah pernafasan.
1)      Masalah pada pernafasan (dulu dan sekarang)
2)      Bunyi nafas mengi
3)      Faktor resiko penyakit paru (misal : perokok aktif/pasif)
4)      Frekuensi infeksi pernafasan
5)      Masalah penyakit paru masa lalu, penggunaan obat
c.    Adanya batuk dan penanganan
d.   Kebiasaan merokok
e.    Masalah pada fungsi sistem kardiovaskuler (kelemahan, dispnea)
f.     Faktor resiko yang memperberat bersihan jalan nafas tidak efektif
1)      Riwayat hipertensi, penyakit jantung
2)      Merokok, usia lanjut, obesitas
3)      Diet tinggi lemak, peningkatan kolesterol
g.    Riwayat penggunaan medikasi
h.    Status atau kondisi kesehatan
i.      Pemeriksaan Fisik :
Untuk menilai bersihan jalan nafas tidak efektif klien, perawat menggunakan keempat teknik pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi, yang meliputi:
a.    Inspeksi, pada saat inspeksi perawat mengamati tingkat kesadaran klien, penampilan umum, postur tubuh, kondisi kulit dan membran mukosa, dada (kontur rongga interkosta, diameter anteriorposterior (AP), struktur thorax, pergerakan dinding dada), pola nafas (frekuensi, kedalaman pernafasan, durasi inspirasi dan ekpirasi), ekspirasi dada secara umum, adanya sianosis, adanya deformitas dan jaringan perut pada dada.
b.    Palpasi, palpasi dilakukan dengan meletakan tumit tangan pemeriksa mendatar diatas dada klien. Saat palpasi perawat menilai adanya fremitus taktil pada dada dan punggung klien dengan memintanya menyebutkan “tujuh-tujuh atau sembilan-sembilan” secara berulang. Jika klien mengikuti instruktur tersebut secara tepat, perawat akan merasakan adanya getaran pada telapak tangannya. Normalnya, fremitus taktil akan terasa pada individu yang sehat, dan akan meningkat pada kondisi konsolidasi. Selain itu, palpasi juga dilakukan untuk mengkaji temperatur kulit, pengembangan dada, adanya nyeri tekan, titik impuls maksimum, abnormalitas massa dan kelenjar, sirkulasi perifer, denyut nadi, pengisian kapiler.
c.    Perkusi, secara umum perkusi dilakukan untuk menentukan ukuran dan bentuk organ dalam serta untuk mengkaji adanya abnormalitas, cairan, atau udara didalam paru. Perkusi sendiri dilakukan dengan menekan jari tengah pemeriksa diatas dada klien. Kemudian jari tersebut diketuk-ketuk dengan menggunakan ujung jari tengah atau jari telunjuk tangan sebelahnya. Normalnya, dada menghasilakan bunyi resonan atau gaung perkusi, pada penyakit tertentu (misal : pnemothorak, empisema), adanya udara pada dada atau paru-paru menimbulkan bunyi hipersonan atau bunyi drum. Sedangkan bunyi pekak atau kempis terdengar apabila perkusi dilakukan diatas area yang mengalami atelaktasis (tidak kembang kempisnya paru).
d.   Auskultasi, auskultasi adalah proses mendengar suara yang dihasilkan didalam tubuh. Auskultasi dapat dilakukan langsung atau dengan menggunakan stetoskop, bunyi yang terdengar digambarkan berdasarkan nada, intensitas, durasi dan kualitasnya. Untuk mendapatkan hasil yang lebih valid dan akurat, auskultasi sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali, pada pemeriksaan fisik paru, auskultasi dilakukan untuk mendengarkan bunyi nafas vasikuler, bronkhial.
e.    Bronkhovesikuler, rales, ronchi, juga untuk mengetahui adanya perubahan bunyi nafas serta lokasi dan waktu terjadinya.
j.      Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengkaji status, fungsi, dan oksigenasi pernafasan klien. Beberapa jenis pemeriksaan diagnostik antara lain : penilaian ventilasi dan oksigenasi, uji fungsi paru, pemeriksaan gas daerah alteri, oksimetri, pemeriksaan daerah lengkap. Tes struktur sistem pernafasan : sinar-x dada, bronkoskopi, scan paru. Deteksi abnormalitas sel dan infeksi saluran pernafasan : kultur kerongkongan, sputum, uji kulit, thorakentesis.
2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN (Doengoes, 2000).
Diagnosa keperawatan yang  muncul pada pasien dengan TB paru adalah sebagai berikut :
1.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interprestasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien/keluarga mampu memahami proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan, melakukan perubahan perilaku dan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan umum dan menurunkan resiko pengaktifan ulang tuberkulosis paru.
Intervensi
a.    Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan.
b.    Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
c.    Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
d.   Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
e.    Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekwensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama, ulangi penyuluhan tentang interaksi obat tuberkulosis dengan obat lain.
f.     Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
g.    Anjurkan pasien untuk tidak minum alkohol jika sedang terapi INH.
h.    Rujuk pemeriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi Etambutol.
i.      Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan.
j.      Berikan gambaran tentang pekerjaan yang beresiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja dipengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
k.    Anjurkan untuk berhenti merokok.
l.      Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.

2.      Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mempertahankan jalan nafas, berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
a.    Kaji fungsi pernafasan: bunyi nafas, irama, kedalaman, dan penggunaan otot aksesori.
b.     Catat kemampuan untuk mengeluarkan sekret, atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
c.    Berikan pasien posisi semi fowler, bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan nafas dalam.
d.   Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
e.    Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
f.     Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
g.    Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
h.    Bantu inkubasi darurat bila perlu.
3.      Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun, kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
Tujuan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi, menunjukan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang bersih.
Intervensi:
a.    Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa, ciuman atau menyanyi.
b.    Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
c.    Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak ditampat pemampungan yang tertutup jika batuk.
d.   Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
e.    Monitor temperatur.
f.     Indentifikasi individu yang beresiko tinggi untuk terinfeksi ulang.
g.    Tekanan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
h.    Pemberian terapi INH, Etambutol, Rimfampisin.
i.      Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamite, Para Amino Salisik (PAS), Sikloserin, Streptomisin.
j.      Monitor Sputum BTA.
4.      Gangguan rasa nyeri (nyeri akut) berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan rasa nyeri dapat berkurang atau terkontrol dengan kriteria hasil pasien menyatakan nyeri berkurang dan tampak rileks.
Intervensi
a.    Observasi karasteristik nyeri, selidiki perubahan karakter/lokasi/intesitas nyeri.
b.    Pantau TTV.
c.    Berikan tindakan nyaman misalnya : pijatan punggung, perubahan posisi, relaksasi/latihan nafas.
d.   Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
e.    Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama batuk.
f.     Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.

5.      Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda malnutrisi, melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a.    Catat status nutrisi pasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/muntah atau diare.
b.    Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
c.    Monitor intake dan output secara periodik.
d.   Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi, awasi frekuensi, volume, kosistensi BAB.
e.    Anjurkan bedrest.
f.     Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
g.    Anjurkan makan sedikt tapi sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
h.    Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
i.      Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.
j.      Awasi pemeriksaan laboratorium (BUN, protein serum dan albumin).
k.    Berikan antipiretik yang tepat.
6.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, sekret yang kental.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak terjadi dispnea, menunjukan perbaikan ventilasi oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal, bebas dari distres pernapasan.
Intervensi:
a.    Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernafasan abnormal, peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada kelemahan.
b.    Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
c.    Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir dikerutkan ke depan sambil menghirup udara, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
d.   Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
e.    Monitor GDA.
f.     Berikan oksigen sesuai indikasi. 
7.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan menunjukan perbaikan aktifitas intoleransi dengan kriteria hasil : menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktifitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi :
a.    Evaluasi respon pasien terhadap aktifitas.
b.    Berikan lingkungan yang tenang.
c.    Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya aktifitas istirahat.
d.   Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat atau tidur.
e.    Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan.

No comments:

Post a Comment