BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sistem musculoskeletal meliputi
tulang, sendi otot, tendon dan bursa. Masalah yang berhubungan dengan struktur
ini sangat sering terjadi dan mengenai semua kelompok manusia. Masalah
musculoskeletal biasanya tidak mengancam jiwa, namun mempunyai dampak yang
bermakna terhadap aktifitas dan produtivitas penderita. Masalah tersebut dapat
dijumpai di segala bidang praktik keperawatan serta dalam pengalaman hidup
sehari-hari (Smeltzer, 2002).
Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinutas jaringan tulang yang umumnya disebakan oleh tekanan atau
rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung
dan trauma tidak langsung. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis
trauma, arah dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang
kuat dapat meyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang
disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi
dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi
(Sjamsudihajat, 2005).
Tabel 1.1
Jumlah kasus fraktur secara umum di RSUD Dr. SOESELO SLAWI.
No
|
Tahun
|
Bulan
|
Jumlah Kasus Fraktur
|
1
|
2013
|
Januari
|
40
|
2
|
Februari
|
49
|
|
3
|
Maret
|
39
|
|
4
|
April
|
34
|
|
5
|
Mei
|
41
|
|
6
|
Juni
|
16
|
|
7
|
Juli
|
1
|
|
Jumlah
|
219
|
Sumber : Rekam Medik Rumah sakit Dr. Soeselo Slawi
Berdasarkan
latar belakang yang didapat diatas maka penulis tertarik untuk menulis Karya
Tulis Ilmiah ini dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Sdr. R Dengan Pre Operasi Fraktur Tertutup 1/3
Medial Humerus Dextra.
B.
TUJUAN PENULISAN
- Tujuan umum
Penulis dapat
memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup humerus dextra.
- Tujuan khusus
Tujuan khusus dari
pembuatan laporan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang :
a. Pengkajian
keperawatan dengan tepat pada Sdr. R dengan
pre operasi fraktur
tertutup 1/3 medial humerus dextra.
b.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada Sdr. R
dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3
medial humerus dextra.
c.
Rencana keperawatan yang sesuai dengan diagnosa yang
ditemukan pada Sdr. R dengan
pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
d. Tindakan keperawatan
yang sesuai dengan rencana keperawatan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
e. Evaluasi asuhan
keperawatan yang telah diberikan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
C.
MANFAAT PENULISAN
- Bagi Institusi Pendidikan
Dapat memberikan masukan yang positif
dalam proses belajar mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3
medial humerus dextra. yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi
praktik mahasiswa keperawatan.
- Pelayanan kesehatan
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat
yang di rumah sakit untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka
upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan klien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3
medial humerus dextra.
- Klien dan keluarga
Dapat meningkatkan pengetahuan dan
pengalaman dalam merawat diri sendiri maupun keluarga yang berhubungan dengan pre
operasi fraktur tertutup humerus dextra.
- Penulis
Dapat memperoleh pengetahuan dan
pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3
medial humerus dextra serta
mengaplikasikan ilmu yang di peroleh selama pendidikan
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2002).
Fraktur humerus adalah
diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus (Mansjoer, Arif,
2000).
Fraktur tertutup adalah patah tulang dimana tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Mansjoer, Arif,
2000).
Diskontinuitas atau hilangnya
struktur dari tulang humerus terbagi atas :
1. Fraktur Suprakondilar Humerus
2. Fraktur Interkondiler Humerus
3. Fraktur Batang Humerus
4. Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1. Tipe Ekstensi Trauma terjadi ketika siku
dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2. Tipe Fleksi Trauma terjadi ketika siku
dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi (Mansjoer, Arif, 2000).
5
|
1. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, membuat sendi dgn
rongga glenoid dari skapla & adalah bagian dari banguan sendi bahu.
Dibawahnya terdapat bagian lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar
ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas
Mayor & disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu
Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat
leher chirurgis mudah terjadi fraktur.
2. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah
lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena
menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah
belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral & memberi jalan
kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah
spiralis atau radialis.
3. Ujung
Bawah Berbentuk lebar & agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea terletak di sisi sebelah
dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum bersendi dengan radius.
Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral & medial (Pearce, Evelyn C, 1997).
B.
JENIS FRAKTUR
Berbagai jenis
fraktur menurut Smeltzer, (2002) yaitu sebagai berikut :
1. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis
tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
2. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit.
4. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada
kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur
terbuka digradasi menjadi III yaitu :
a.
Grade
I
|
Dengan luka bersih < 1cm panjangnya.
|
b.
Grade
II
|
Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
|
c.
Grade
III
|
Luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat.
|
5. Greenstick/Patahan dahan: fraktur dimana
salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
6. Transversal: fraktur sepanjang garis
tengah tulang.
7. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah
menjadi beberapa fragmen.
8. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan
terdorong ke dalam.
9. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami
kompresi (terjadi pada tulang belakang).
10. Patologik: fraktur yang terjadi pada
daerah tulang oleh ligamen atau tendo
pada daerah perlekatannnya.
11. Oblik : fraktur membentuk sudut dengan
garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal).
12. Spiral : fraktur memuntir seputar batang
tulang.
13. Avulsi : tertariknya fragmen tulang oleh
ligament atau tendo pada perlekatannya.
14. Epifiseal : fraktur melalui epifisis.
15. Impaksi : fraktur dimana fragmen tulang
terdorong ke fragmen tulang lainya.
C. ETIOLOGI
Menurut Long, (1996) dalam bukunya yang berjudul
asli Essensial Of Medical-Surgical
Nursing ada 4 yaitu:
1.
Benturan
dan cedera (jatuh pada kecelakaan).
2.
Pathologik
: Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis.
3.
Patah
karena letih, patah tulang karena otot tidak dapat mengabsorsi energi seperti
karena berjalan terlalu jauh.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang dikatakan fraktur atau patah bila
terdapat interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya fraktur disertai cedera
jaringan diseputarnya yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan
persyarafan. Karena pembuluh darah cedera, maka terjadi perdarahan/hematoma
pada daerah fraktur. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang
patah, kemudian hematoma menjadi terorganisir karena fibroblast masuk lokasi
cedera, membentuk fibrin meskwork(gumpalan fibrin). Berdinding sel darah putih
pada lokasi, melokalisir radang. Inflasi osteoblast, osteoblast masuk ke daerah
fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang. Pembuluh darah berkembang
mengalirkan nutrisi untuk membentuk kolagen. Untaian kolagen terus disatukan
dengan kalsium. Pada fase pembentukan callus, osteoblast terus membuat jala
untuk tulang, merusakan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru,
kolagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium. Pada langkah
terakhir ini callus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk
pada garis cedera. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Long, 1996).
E.
PATYWAYS
Benturan dan cedera Patah karena letih Kondisi
patologis
(jatuh pada kecelakaan)
FRAKTUR
nyeri
|
Diskontinuitas tulang
pergeseran frakmen tulang
Perub jaringan sekitar kerusakan
frakmen tulang
Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr
kapiler
peningk
tek kapiler reaksi stres klien
deformitas
Kerusakan integritas kulit
|
gg. fungsi
protein plasma hilang memobilisasi asam lemak
Gg mobilitas fisik
|
emboli
penekanan pem. drh
menyumbat pemb drh
penurunan perfusi jar
Resiko disfungsi neurovaskuler perifer
|
Sumber : Smeltzer,
(2002).
F. MANIFESTASI KLINIS
1.
Nyeri
terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
2.
Deformitas
karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
3.
Terjadi
pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4.
Krepitasi
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5.
Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit (Smeltzer, 2002).
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur :
menentukan lokasi, luasnya.
2. Pemeriksaan jumlah darah lengkap.
3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan
vaskuler dicurigai.
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klirens ginjal.
H.
PENATALAKSANAAN
1. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup :
tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
2. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3. Traksi : dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi.
4. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
a.
Reduksi
dan immobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
b.
Pemberian
analgetik untuk mengurangi nyeri.
c.
Status
neurovaskuler (misal: peredaran darah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau.
d.
Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah (Smeltzer, 2002).
I.
KOMPLIKASI
Dini
1. Kehilangan darah
2. Infeksi
3. Emboli paru
4. DVT dan emboli paru
5. Gagal ginjal
6. Sindrom kompartemen
Lanjut
1.
Pertumbuhan
terhambat
2. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya.
3. Delayed union : proses penyembuhan yang
terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
4. Non union : tulang yang tidak menyambung
kembali (Grace, 2006).
J.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORI
Menurut Mansjoer, (2000) yaitu :
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam
proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
Pengkajian
1.
Pengumpulan Data
Anamnesa
a.
Identitas Klien
Meliputi
nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis, Identitas penanggung jawab.
b.
Keluhan Utama
Pada
umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri yang disertai dengan
gangguan fungsi. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1)
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2)
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3)
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau
klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5)
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain.
d.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e.
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f.
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g.
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1)
Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur mandibula akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan karbohidrat untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskulos-keletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
4)
Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.
7)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
8)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10)
Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
11)
Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1)
Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a)
Kesadaran penderita fraktur : apatis, sopor,
koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien, perubahan kesadaran
pada fraktur mandibula diakibatkan biasanya karena adanya cindera kepala.
b)
Kesakitan,
keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut, dan bisa menjadi kronis bilamana penanganan nyeri tidak segera
dilakukan.
c)
Tanda-tanda
vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. Terjadi
penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan, dan peningkatan suhu tubuh
bila terjadi infeksi.
d)
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1)
Sistem Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2)
Kepala
Tidak ada
gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, ada penonjolan apa bila pada saat
jatuh daerah kepala terbentur dan mungkin diikuti cidera kepala.
(3)
Leher
Tidak ada
gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4)
Muka
Wajah
terlihat menahan sakit, ada perubahan fungsi maupun bentuk.
(5)
Mata
Tidak ada
gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan),
apabila terjadi perdarahan maka konjungtiva anemis.
(6)
Telinga
Tes bisik
atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7)
Hidung
Tidak ada
deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8)
Mulut dan Faring
Terjadi
perubahan bentuk mulut atau lebih spesifik pada rahang. Tak ada pembesaran
tonsil.
(9)
Thoraks
Tak ada
pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan
meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan
sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara
ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara
nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak
tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi
meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1
dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk
datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor
baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara
thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik
usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia,
tak ada pembesaran limfe, tak ada kesulitan BAB.
2)
Keadaan Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah :
a)
Look (inspeksi)
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas
(deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
b)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat)
dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal 3-5
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
(4) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau
konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.
c)
Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Diagnosa
keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai
pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
a.
Nyeri
akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.
Risiko
disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema berlebihan, pembentukan trombus)
c.
Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler (nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobilitas tungkai).
d.
Gangguan
integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Doenges, (2000).
Intervensi
Keperawatan Yang sering muncul dalam fraktur
a.
Nyeri akut b/d spasme otot,
gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas.
Tujuan:
Klien mengatakan
nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu
berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individual.
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Pertahankan
imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau
traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang
terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak
pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan
kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen
nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama).
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk
verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)
|
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area
tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme
penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
b.
Resiko disfungsi neurovaskuler
perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan
trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi
neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa
bergerak secara aktif.
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Dorong klien untuk secara rutin
melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat
tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas
yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin)
bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan
sisi yang normal.
|
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah
kekakuan sendi.
Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk
perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
Meningkatkan drainase vena dan menurunkan
edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik
untuk menurunkan trombus vena.
Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan
perlunya intervensi sesuai keadaan klien.
|
c.
Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler (nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobilitas tungkai).
Tujuan : Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dan mempertahankan posisi fungsional.
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan
oleh cidera atau penghobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap
imobilisasi.
2. Instruksikan/dorong pasien untuk/bantu
dalam rentang gerak pasien/aktif pada ekstremitas yang sakit dan yang tak
sakit.
3. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan
kursi roda, kruk, tongkat, sesegera mungkin. Intrusikan keamanan dalam
menggunakan alat mobilitas.
4. Bantu/dorong perawatan diri atau
kebersihan (mandi, mencukur)
5. Konsul dengan ahli terapi fisik atau
okupasi dan atau rehabilisasi spesialis.
|
Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri
atau persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi
atau intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang
untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi; mencegah
kontraktur/atrofi, dan resorpsi kalsium karena tidak digunakan.
Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah
baring (contoh, flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi
organ. Belajar memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk mempertahankan
mobilisasi optimal dan keamanan pasien.
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi.
Meningkatkan kontrol pasien dalam situasi koma dan meningkatkan kesehatan
kesehatan diri langsung.
Berguna dalam membuat aktifitas individual
atau program latihan. Pasien dapat memrlukan bantuan jangka panjang dengan
gerakan. Kekuatan dan aktifitas yang mengandalkan berat badan. Juga
penggunaan alat.Contoh : walker kruk, tongkat, meninggikan tempat duduk di
toilet, tongkat pengambil atau penggapai, khususnya alat makan.
|
d.
Gangguan integritas kulit b/d
fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,
menunjukkan perilaku teknik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan
lesi terjadi.
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Pertahankan
tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang,
bantalan bawah siku, tumit).
2.
Masase
kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah
perianal
4.
Observasi
keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
|
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang
lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan
meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan
pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit dan
jaringan akibat kontaminasi fekal.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
No comments:
Post a Comment