Friday 28 April 2017

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. R DENGAN PRE OPERASI FRAKTUR TERTUTUP 1/3 MEDIAL HUMERUS DEXTRA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Sistem musculoskeletal meliputi tulang, sendi otot, tendon dan bursa. Masalah yang berhubungan dengan struktur ini sangat sering terjadi dan mengenai semua kelompok manusia. Masalah musculoskeletal biasanya tidak mengancam jiwa, namun mempunyai dampak yang bermakna terhadap aktifitas dan produtivitas penderita. Masalah tersebut dapat dijumpai di segala bidang praktik keperawatan serta dalam pengalaman hidup sehari-hari (Smeltzer, 2002).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinutas jaringan tulang yang umumnya disebakan oleh tekanan atau rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, arah dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat meyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi (Sjamsudihajat, 2005).


Tabel 1.1 Jumlah kasus fraktur secara umum di RSUD Dr. SOESELO SLAWI.
No
Tahun
Bulan
Jumlah Kasus Fraktur
1
2013
Januari
40
2
Februari
49
3
Maret
39
4
April
34
5
Mei
41
6
Juni
16
7
Juli
1
Jumlah
219
Sumber : Rekam Medik Rumah sakit Dr. Soeselo Slawi
Berdasarkan latar belakang yang didapat diatas maka penulis tertarik untuk menulis Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Sdr. R Dengan Pre Operasi Fraktur Tertutup 1/3 Medial Humerus Dextra.

B.     TUJUAN PENULISAN
  1. Tujuan umum
Penulis dapat memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup humerus dextra.
  1. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari pembuatan laporan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang :
a.     Pengkajian keperawatan dengan tepat pada Sdr. R dengan
   pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
b.      Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
c.       Rencana keperawatan yang sesuai dengan diagnosa yang ditemukan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
d.      Tindakan keperawatan yang sesuai dengan rencana keperawatan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
e.       Evaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan pada Sdr. R dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.

C.    MANFAAT PENULISAN
  1. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat memberikan masukan yang positif dalam proses belajar mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra. yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi praktik mahasiswa keperawatan.
  1. Pelayanan kesehatan
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat yang di rumah sakit untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan klien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra.
  1. Klien dan keluarga
Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat diri sendiri maupun keluarga yang berhubungan dengan pre operasi fraktur tertutup humerus dextra.
  1. Penulis
Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan pre operasi fraktur tertutup 1/3 medial humerus dextra serta mengaplikasikan ilmu yang di peroleh selama pendidikan 

                                                                           BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      DEFINISI
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2002).
Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus (Mansjoer, Arif, 2000).
Fraktur tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Mansjoer, Arif, 2000).
Diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus terbagi atas :
1.      Fraktur Suprakondilar Humerus
2.      Fraktur Interkondiler Humerus
3.      Fraktur Batang Humerus
4.      Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1.      Tipe Ekstensi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2.      Tipe Fleksi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi (Mansjoer, Arif, 2000).
5
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, & ujung bawah.
1. Kaput Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, membuat sendi dgn rongga glenoid dari skapla & adalah bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor & disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis mudah terjadi fraktur.
2. Korpus Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral & memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3. Ujung Bawah Berbentuk lebar & agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea terletak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral & medial (Pearce, Evelyn C, 1997).


B.        JENIS FRAKTUR
Berbagai jenis fraktur menurut Smeltzer, (2002) yaitu sebagai berikut :
1.      Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
2.      Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
3.      Fraktur tertutup:  fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit.
4.      Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi III yaitu :
a.    Grade I
Dengan luka bersih < 1cm panjangnya.
b.    Grade II
Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c.    Grade III
Luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat.
5.      Greenstick/Patahan dahan: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
6.      Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang.
7.      Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
8.      Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam.
9.      Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).
10.  Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang  oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.
11.  Oblik : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal).
12.  Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.
13.  Avulsi : tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya.
14.  Epifiseal : fraktur melalui epifisis.
15.  Impaksi : fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainya.

C.      ETIOLOGI
Menurut Long, (1996) dalam bukunya yang berjudul asli Essensial Of Medical-Surgical Nursing ada 4 yaitu:
1.      Benturan dan cedera (jatuh pada kecelakaan).
2.      Pathologik : Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis.
3.      Patah karena letih, patah tulang karena otot tidak dapat mengabsorsi energi seperti karena berjalan terlalu jauh.

D.       PATOFISIOLOGI
Tulang dikatakan fraktur atau patah bila terdapat interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya fraktur disertai cedera jaringan diseputarnya yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan persyarafan. Karena pembuluh darah cedera, maka terjadi perdarahan/hematoma pada daerah fraktur. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang patah, kemudian hematoma menjadi terorganisir karena fibroblast masuk lokasi cedera, membentuk fibrin meskwork(gumpalan fibrin). Berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang. Inflasi osteoblast, osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang. Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk membentuk kolagen. Untaian kolagen terus disatukan dengan kalsium. Pada fase pembentukan callus, osteoblast terus membuat jala untuk tulang, merusakan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru, kolagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium. Pada langkah terakhir ini callus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cedera. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Long, 1996).

E.        PATYWAYS

Benturan dan cedera                          Patah karena letih                                                               Kondisi patologis
(jatuh pada kecelakaan)



                                                                      FRAKTUR
nyeri
                                                               
Diskontinuitas tulang        pergeseran frakmen tulang            

Perub jaringan sekitar                                                                         kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag  Tlg             laserasi kulit:        spasme otot                tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler
                                                          
                                                                 peningk tek kapiler                      reaksi stres klien
deformitas
Kerusakan integritas kulit
                                                                       pelepasan histamin         melepaskan katekolamin
gg. fungsi                                                                                
                                                                    protein plasma hilang            memobilisasi asam lemak
                         
Gg mobilitas fisik
                                                                                    edema                                                  globula lemak bergab dg trombosit
                                         
                                                                                                                     emboli
        penekanan pem. drh
                                                                                                                             menyumbat pemb drh
                                                                       penurunan perfusi jar
                                 
Resiko disfungsi neurovaskuler perifer
                                                                               


Sumber : Smeltzer, (2002).

F.        MANIFESTASI KLINIS

1.         Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2.         Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
3.         Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat  diatas dan dibawah tempat fraktur.
4.         Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5.         Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit (Smeltzer, 2002).

G.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya.
2.      Pemeriksaan jumlah darah lengkap.
3.      Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4.      Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

H.       PENATALAKSANAAN
1.       Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin  untuk kembali seperti letak semula.
2.       Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3.       Traksi : dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
4.       Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
a.      Reduksi dan immobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
b.     Pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.
c.      Status neurovaskuler (misal: peredaran darah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau.
d.     Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah (Smeltzer, 2002).

I.          KOMPLIKASI
Dini
1.      Kehilangan darah
2.      Infeksi
3.      Emboli paru
4.      DVT dan emboli paru
5.      Gagal ginjal
6.      Sindrom kompartemen
Lanjut
1.    Pertumbuhan terhambat
2.    Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
3.    Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
4.    Non union : tulang yang tidak menyambung kembali (Grace, 2006).


J.        KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORI
Menurut Mansjoer, (2000) yaitu :
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Pengkajian
1.     Pengumpulan Data
 Anamnesa
a.         Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis, Identitas penanggung jawab.
b.        Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri yang disertai dengan gangguan fungsi. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

1)             Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2)            Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3)            Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4)            Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5)            Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c.         Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d.        Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e.         Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f.         Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g.        Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1)        Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur mandibula akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2)        Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan karbohidrat untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskulos-keletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3)        Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4)        Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5)        Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6)        Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
7)        Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur  yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
8)        Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur  daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9)        Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10)    Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11)     Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1)        Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

a)         Kesadaran penderita fraktur : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien, perubahan kesadaran pada fraktur mandibula diakibatkan biasanya karena adanya cindera kepala.
b)        Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut, dan bisa menjadi kronis bilamana penanganan nyeri tidak segera dilakukan.
c)        Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. Terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan, dan peningkatan suhu tubuh bila terjadi infeksi.
d)       Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1)      Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2)      Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, ada penonjolan apa bila pada saat jatuh daerah kepala terbentur dan mungkin diikuti cidera kepala.
(3)      Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4)      Muka
Wajah terlihat menahan sakit, ada perubahan fungsi maupun bentuk.
(5)      Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan), apabila terjadi perdarahan maka konjungtiva anemis.
(6)      Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7)      Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8)      Mulut dan Faring
Terjadi perubahan bentuk mulut atau lebih spesifik pada rahang. Tak ada pembesaran tonsil.
(9)      Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10)  Paru
(a)      Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b)     Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(c)      Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d)     Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11)  Jantung
(a)      Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b)     Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c)      Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12)  Abdomen
(a)      Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b)     Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c)      Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d)     Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13)  Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran limfe, tak ada kesulitan BAB.
2)        Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah :
a)         Look (inspeksi)
(1)     Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2)     Cape au lait spot (birth mark).
(3)     Fistulae.
(4)     Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5)     Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6)     Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7)     Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b)        Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.:
(1)     Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal   3-5
(2)     Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3)     Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
(4)     Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c)         Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.   
2.      Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut:
a.       Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.      Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema berlebihan, pembentukan trombus)
c.       Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler (nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobilitas tungkai).
d.      Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) Doenges, (2000).

Intervensi Keperawatan Yang sering muncul dalam fraktur
a.       Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.



Tujuan:           Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual.

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1.  Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3.  Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
4.  Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.  Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6.  Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama).
7.  Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


8.      Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai perkembangan masalah klien.

b.        Resiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan      : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1.    Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.
2.    Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
3.    Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

4.    Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.

5.    Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.


Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.
Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.



c.          Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler (nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobilitas tungkai).
Tujuan    :    Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dan mempertahankan posisi fungsional.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1.    Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cidera atau penghobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.


2.    Instruksikan/dorong pasien untuk/bantu dalam rentang gerak pasien/aktif pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.



3.    Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat, sesegera mungkin. Intrusikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.




4.    Bantu/dorong perawatan diri atau kebersihan (mandi, mencukur)




5.    Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan atau rehabilisasi spesialis.







Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri atau persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi atau intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi; mencegah kontraktur/atrofi, dan resorpsi kalsium karena tidak digunakan.

Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh, flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk mempertahankan mobilisasi optimal dan keamanan pasien.

Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi. Meningkatkan kontrol pasien dalam situasi koma dan meningkatkan kesehatan kesehatan diri langsung.

Berguna dalam membuat aktifitas individual atau program latihan. Pasien dapat memrlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan. Kekuatan dan aktifitas yang mengandalkan berat badan. Juga penggunaan alat.Contoh : walker kruk, tongkat, meninggikan tempat duduk di toilet, tongkat pengambil atau penggapai, khususnya alat makan.


d.        Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
Tujuan    :  Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku teknik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1.         Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2.      Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.


3.     Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

4.      Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.



Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan masalah klien.

No comments:

Post a Comment